Minggu, 18 Juli 2010

Ketika Pemenang Ditentukan Melalui Voting

Kalo Milih Hitler Jelas Nggak Perlu Voting

Sekarang era demokrasi, dimana semua mempunyai hak yang sama dan semua juga ditentukan oleh suara terbanyak. Tidak hanya dalam sistem politik atau sistem pemerintah serta kehidupan bermasyarakat, demokrasi ini dijalankan. Bahkan dalam pemilihan pemenang dalam sebuah acara talent show di televisi juga menggunakan sistem demokrasi, yakni ditentukan berdasar suara terbanyak. Kita juga tidak pernah mengerti apakah itu benar-benar pemilihan pemenang berdasar sms atau pemilihan pemenang berdasar pihak penyelenggara? Dimana jika pihak penyelenggara yang memilih pemenang, otomatis mereka tidak hanya memikirkan sms yang masuk, mereka juga memikirkan popularitas yang dimiliki oleh calon bintang yang mengikuti talent show tersebut.

Layaknya calon pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat, apakah keberhasilan mereka menjadi orang yang paling dipilih oleh rakyat karena kualitas yang mereka miliki? Kualitas seperti apa yang mereka miliki sehingga  rakyat memilih mereka menjadi pemimpin? Apakah rakyat telah mengerti calon pemimpin itu luar dalam? Namun sayangnya tidak ada juri yang memberikan komentar dalam pemilihan calon pemimpin ini. Jadi kualitas calon pemimpin masih harus dipertanyakan lagi, mengingat mereka selalu suka lupa kalo uda kepilih.

Tidak jauh berbeda dengan pemilihan pemenang talent show yang diukur dari banyaknya sms yang masuk kepada salah satu peserta tertentu, cuma bedanya peserta ini melewati proses yang cukup panjang dan melelahkan dimana mereka harus selalu menampilkan kualitas terbaik mereka tiap minggunya atau tiap mereka tampil, belum lagi saran dan kritikan dari para juri yang menilai penampilan dan kualitas mereka. Namun sayangnya, lagi-lagi pemenang ditentukan oleh suara terbanyak, dimana orang/peserta yang memiliki kualitas mumpuni jika popularitas tidak mereka miliki toh juga sangat sulit buat mereka untuk menang. Namun panitia penyelenggara tentunya tidak bodoh dalam "menyelamatkan" orang-orang yang punya potensi dan "menenggelamkan" peserta yang prospeknya tidak secerah peserta lainnya. Sebaik apapun kualitas mereka, jika sms tidak mengizinkan mereka menang toh mereka juga harus kalah. Harusnya pemilihan pemenang lebih berimbang porsinya, dimana juri, sms dan pihak penyelenggara mempunyai porsi yang seimbang dalam penentuan pemenang. Namun cukup sulit juga jika profit oriented yang mereka utamakan, bayangkan saja sekali sms dikenakan biaya Rp. 2.000 dikalikan jutaan pemirsa yang mengirim sms. Woowwwww

Memang pemahaman mengenai kualitas tiap orang tentunya tidak sama, dan pemilih juga tidak bodoh dalam memberikan nilai berkualitas pada pilihan yang disediakan. Tapi masalahnya adalah sebuah objektivitas, apakah bisa para pemilih itu memilih berdasar objektivitas bukan subjektivitas? Nah ini juga yang repot, meski pilihannya menampilkan sesuatu yang tidak terlalu baik dan kalah baik oleh peserta lainnya (ini bisa dilihat dari komentar para juri), toh pemilih tetap setia pada pilihannya. Orang akhirnya memilih bukan karena objektivitas atau sesuatu yang ditampilkan (kualitas) oleh pilihan mereka, mereka memilih karena subjektivitas dan bukan menggunakan rasio mereka melainkan lebih kepada perasaan. Memang perasaan nggak bisa bohong, tapi repot juga jikalau menentukan sebuah pemenang hanya didasarkan perasaan.

Semoga kita bisa menentukan pilihan yang memang benar-benar layak dipilih, kita memilih berdasar pikiran kita yang sehat dan pandangan kita yang objektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar