TV=Palsu
Dewasa ini, arus informasi hampir nggak jauh beda dengan arus macet di Jakarta dan arus mudik saat lebaran. Selalu ramai, cuma bedanya arus informasi anti kemacetan sedangkan arus macet dan arus mudik punya masalah dengan kemacetan.
Majunya teknologi membuat informasi ini bisa tersebar secara cepat dan bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Karena jaman sekarang sudah ada yang namanya internet dan televisi bener-bener menjadi media pertama dengan internet dalam pemberitaan. Namun sempat tersirat dalam pikiran penulis, apakah cepatnya berita yang disajikan itu (fast news/berita cepat saji) benar-benar tepat dan akurat? Karena terkadang, faedah 5W+1H dalam penulisan berita sudah hampir menghilang. Sebagai contoh ketika kita melihat berita penyergapan teroris oleh stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu di Magelang, mereka menduga dan bahkan mengatakan bahwa tersangka dalam rumah yang disergap adalah terori kelas kakap Noordin M Top, tapi ternyata justru anak buahnya. Berita yang cepat itu memang bisa bermanfaat namun keakuratannya masih harus dipertanyakan lagi.
Beberapa tulisan di atas, hanya sekedar mengingatkan kita semua aja agar kita lebih kritis dan memahami lagi terhadap sebuah berita yang disajikan, kita tidak bisa menelan itu semua mentah-mentah. Karena objektivitas dalam penulisa berita semakin berkurang, karena tiap media mempunyai kepentingan masing-masing dan tentunya mereka menuju kepada orientasi mereka yakni pasar dan profit.
Jika kita melihat beberapa siaran yang ditayangkan oleh televisi terutama semacam acara reality show, talk show, dan sebagainya. Kita tidak harus menelan semua yang ditampilkan oleh acara tersebut, karena perlu diingat "tidak ada yang asli dalam televisi". Penulis hanya bisa mengelus dada dengan tayangan yang disiarkan oleh televisi, karena benar-benar jauh dari kata mendidik dan masuk akal. Acara-acara reality show seakan sudah tidak real lagi alias layaknya sebuah sinetron yang telah diatur sedemikian rupa, belum lagi acara talk show yang mengundang beberapa tokoh atau pengamat, pada acara tersebut mereka beradu argumen dan nampak permusuhannya agar nampak menarik untuk dilihat namun dibalik kamera toh mereka tetep akur.
Apakah harus menampilkan seperti itu untuk menarik minat pemirsa televisi? Apakah perlu melakukan hal-hal yang jauh dari kultur kita? Apakah perlu melakukan banyak kebohongan untuk meraih rating dan iklan yang masuk? Kenapa tidak bisa menyajikan sesuatu yang lebih nikmat dan mendidik masyarakat agar menjadi lebih dewasa dan lebih pintar daripada memainkan perasaan pemirsa dengan suguhan acara yang lebih menekankan perasaan emosi dan belas kasihan?
Seharusnya sebagai media, berbohong adalah perbuatan yang terkutuk layaknya perbuatan setan. Namun berbohong di era sekarang seakan sah-sah saja. Pakar Komunikasi Politik UI yang juga aktivis Kompak, memaparkan 5 kebohongan media, yakni ;
- Membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkan data
- Memberitakan yang tidak pernah ada
- Tidak memberitakan kejadian yang memang terjadi
- Membohongi agenda publik dengan sengaja
- Membohongi publik dengan menekankan berkali-kali bahwa mereka sebagai institusi tidak pernah/sedang membohongi publik
Kebohongan media itu memang tidak sepenuhnya diwujudkan oleh media televisi dan media lainnya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kebanyakan media terutama media televisi sedang melangkah ke dalam 5 kebohongan ini. Dimana TV terkadang menghiasi acaranya dengan menjalankan nomor 1-5 dengan baik dan benar.
Kapan kita bisa memperoleh pendidikan yang murah dan gratis dari sebuah media jika mereka terus menampilkan sebuah kebohongan daripada kejujuran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar