Dunia Pendidikan Indonesia, kian lama kok kian menyedihkan. Dimana pemerintah berbangga bahwa kualitas pendidikan kita makin baik, namun kualitas pendidikan negara tetangga kita itu malah jauh lebih baik. Jika dulu kita bisa mengungguli malaysia dan bersaing dengan negara asia tenggara lainnya, sekarang kita malah terjatuh dan semakin susah bersaing dengan para tetangga. Penurunan kualitas tidak hanya di dunia pendidikan, namun juga di dunia olahraga pun demikian, lihat saja bulutangkis yang dulu jadi ladang prestasi negeri ini, sekarang malah merosot tidak karuan. Belum lagi carut marut dunia sepak bola indonesia.
Penulis terkadang juga sedih dan prihatin melihat sekolah full day. Sekolah kok hampir sama kayak jam kerja, mulai pagi hingga sore hari (06.30-15.00). Belum lagi para siswa yang mengikuti pelajaran tambahan di lembaga bimbingan belajar. Jam Tayang sekolah seakan mengikuti matahari, yakni mulai matahari terbit hingga matahari terbenam. Apakah ini bagus untuk menunjang kualitas pendidikan negeri ini? Menurut penulis masih jauh dari kata menunjang kualitas. Mengapa demikian? Berkaca dari pengalaman penulis dan mengamati perkembangan dunia pendidikan. Dulu ketika penulis masih duduk di bangku SMA, sekolah menjadi hal paling menyenangkan dimana saat sekolah, penulis tidak hanya memperoleh pelajaran di dalam kelas melainkan banyak pelajaran lainnya. Pelajaran di luar kelas dapat diperoleh karena jam sekolah yang tidak sekejam sekarang, dulu sekolah penulis dimulai pukul 07.00-13.00 itupun sudah dipotong waktu istirahat 45 menit. Pelajaran yang diperoleh diluar kelas seperti mengikuti program ekstrakulikuler dan juga beraktivitas dengan lingkungan masyarakat penulis. Prestasi Non Akademik pun banyak diraih, kebetulan saat sma penulis juga atlit basket sekolah dan banyak prestasi basket yang diraih ketika masa SMA. Saat itu Ujian Nasional bukan menjadi hal yang menyeramkan seperti halnya sekarang.
Meski jam sekolah yang tidak terlalu panjang dan banyak aktivitas diluar jam pelajaran, toh tidak mempengaruhi kualitas pendidikan dan kualitas peserta didik. Ini dapat dilihat, hampir seluruh teman SMA angkatan penulis ternyata banyak yang masuk perguruan tinggi negeri, sama halnya dengan teman-teman dari sekolah yang berbeda. Namun penulis sempat kecewa, setelah lulus sekolah melihat sistem pendidikan di sekolah penulis yang memperpanjang jam sekolah. Guru penulis menjelaskan, panjang lebar mengenai adanya penambahan jam tayang ini. Bla.. bla.. bla.. penulis terus bertanya mulai dari Guru BK hingga Kepala Sekolah, semua hampir mempunyai jawaban yang serupa yakni untuk peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan itu seakan hanya untuk sekolah, bukan peningkatan para siswa. Dimana tolak ukur keberhasilan sebuah sekolah dilihat dari prestasi akademik terutama di bidang sains macam matematika, fisika, biologi dan kimia. Mereka yang juara memang membanggakan bagi sekolah namun tidak terlalu membanggakan bagi teman-teman mereka, karena mereka yang juara itu kan kebanyakan pendiam dan tidak pernah bergaul dengan teman-temanya karena ‘kesibukan’ mereka belajar. Ini berbeda dengan teman-teman yang berprestasi di dunia olahraga dan seni, dimana mereka selalu mendapat suport langsung dari teman-teman mereka satu sekolah ketika mereka bertanding maupun tampil pada pentas seni. Toh meski dunia berbeda, mereka juga membawa nama baik sekolah. Inilah yang penulis sesalkan, ketika semua siswa harus dipaksa untuk menguasai yang bukan bidangnya dan harus bisa berprestasi di bidang akademik, hingga menyebabkan fasilitas penunjang ekstrakurikuler pun dibatasi dan terkadang dibiarkan begitu saja. Penulis tidak menolak peraihan prestasi baik akademik maupun non akademik, melainkan harusnya dunia pendidikan mengerti bahwa pendidikan itu tidak sebatas pada mata pelajaran namun pendidikan juga mendidik moral, kreativitas dan emosional para peserta didik. Dimana tidak hanya otak kiri saja yang dilatih, melainkan otak kanan juga. Nah kalo sekolah itu mulai dari pagi hingga sore hari, terus dilanjutkan dengan pelajaran tambahan di bimbingan belajar hingga malam hari. Kapan otak kanan itu dilatih? Tiba dirumah langsung tidur atau ngerjain tugas sekolah dan siap untuk melakukan rutinitas yang sama yakni ‘sekolah’.
Penulis selalu mengikuti perkembangan sekolah penulis dan tidak sabar ingin mengetahui hasil dari sistem pendidikan yang baru (dulu namanya Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dari tahun ke tahun ternyata prestasi non akademik pun mulai menurun, padahal kualitas SDM juga masih bagus tapi kok prestasi malah menurun. Terus penulis juga bertanya tentang kelulusan sudah lanjut kemana saja, ternyata jumlah pelajar yang masuk PTN malah mengalami penurunan padahal tidak sedikit pula adik-adik kelas yang mengikuti tes masuk PTN. Belum lagi, sistem pendidikan yang mengagungkan akademik itu ternyata masih belum bisa membanggakan, karena ternyata adik-adik angkatan penulis justru semakin sedikit yang masuk Kedokteran, Kedokteran Gigi, Teknik Elektro, Statistik, Akuntansi, Manajemen, Komunikasi dan lain sebagainya lewat jalur prestasi dan spmb. Apakah ini wujud dari sistem pendidikan yang katanya ‘baru’? Sekolah layaknya kerja rodi dari pagi hingga malam hari. Prestasi akademik dan non akademik pun tidak bisa diraih, yang diraih hanyalah sebuah penurunan bahkan kegagalan. Penulis mencoba mendengarkan cerita dan pengalaman dari teman-teman yang berbeda sekolah, ternyata sekolah mereka pun mengalami problem yang serupa.
Memang cerita ini tidak bisa dijadikan tolak ukur hasil pendidikan di negeri ini, jika kita pernah bilang sebuah perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan lingkutan sekitar kita, yah ini memang benar adanya karena lingkungan sekolah kita ternyata mengalami sebuah ‘keanehan’ yakni penurunan kualitas peserta didik yang harus kita benahi. Soal pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, sekolah dan siswa namun juga tanggung jawab kita semua, hanya pemerintah mempunyai jatah lebih banyak dalam tanggung jawab karena darisana lah kebijakan bermula. Namanya kebijakan kan harus bijak, jika kebijakan itu banyak merugikan dan mengalami penurunan kualita berarti itu bukan kebijakan melainkan kejahatan.
Pendidikan yang harusnya menjadi sarana eksplorasi para peserta didik, dimana mereka semua bisa mengeksplor semua yang ada di dalam dirinya, entah itu kemampuan dibidana akademik maupun non akademik, dimana pendidikan bisa menunjang kemampuan berfikir dan kreativitas mereka, dimana pendidikan selalu menampilkan senyumnya bukan hanya wajah murung karena ujian nasional dan lain sebagainya.
Pendidikan justru mengeksploitasi pasa siswa dan orang tuanya dengan aneka sumbangan dan kegiatan sekolah lainnya. Belum lagi LBB yang tidak murah harganya. Pendidikan seakan memaksa peserta didik untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya, akhirnya peserta didikpun hanya memiliki dua pilihan, yakni : menjalankan perintah atau diam saja. Ini patut disayangkan, mereka yang mempunyai potensi di bidang lainnya terpaksa harus mengubur bakatnya dalam-dalam dan menjalani ‘dunia lain’.
Kita juga bisa melihat banyaknya laporan dan keluhan mengenai pendidikan Indonesia yang semakin ketinggalan dibanding negara lain di asia tenggara, meski banyak siswa meraih prestasi olimpiade internasional toh juga bukan jaminan mereka akan hidup lebih baik. Bahkan peraih juara olimpiade itu ada yang tidak lulus UN dan bahkan tidak lolos tes masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Penulis terkadang juga sedih dan prihatin melihat sekolah full day. Sekolah kok hampir sama kayak jam kerja, mulai pagi hingga sore hari (06.30-15.00). Belum lagi para siswa yang mengikuti pelajaran tambahan di lembaga bimbingan belajar. Jam Tayang sekolah seakan mengikuti matahari, yakni mulai matahari terbit hingga matahari terbenam. Apakah ini bagus untuk menunjang kualitas pendidikan negeri ini? Menurut penulis masih jauh dari kata menunjang kualitas. Mengapa demikian? Berkaca dari pengalaman penulis dan mengamati perkembangan dunia pendidikan. Dulu ketika penulis masih duduk di bangku SMA, sekolah menjadi hal paling menyenangkan dimana saat sekolah, penulis tidak hanya memperoleh pelajaran di dalam kelas melainkan banyak pelajaran lainnya. Pelajaran di luar kelas dapat diperoleh karena jam sekolah yang tidak sekejam sekarang, dulu sekolah penulis dimulai pukul 07.00-13.00 itupun sudah dipotong waktu istirahat 45 menit. Pelajaran yang diperoleh diluar kelas seperti mengikuti program ekstrakulikuler dan juga beraktivitas dengan lingkungan masyarakat penulis. Prestasi Non Akademik pun banyak diraih, kebetulan saat sma penulis juga atlit basket sekolah dan banyak prestasi basket yang diraih ketika masa SMA. Saat itu Ujian Nasional bukan menjadi hal yang menyeramkan seperti halnya sekarang.
Meski jam sekolah yang tidak terlalu panjang dan banyak aktivitas diluar jam pelajaran, toh tidak mempengaruhi kualitas pendidikan dan kualitas peserta didik. Ini dapat dilihat, hampir seluruh teman SMA angkatan penulis ternyata banyak yang masuk perguruan tinggi negeri, sama halnya dengan teman-teman dari sekolah yang berbeda. Namun penulis sempat kecewa, setelah lulus sekolah melihat sistem pendidikan di sekolah penulis yang memperpanjang jam sekolah. Guru penulis menjelaskan, panjang lebar mengenai adanya penambahan jam tayang ini. Bla.. bla.. bla.. penulis terus bertanya mulai dari Guru BK hingga Kepala Sekolah, semua hampir mempunyai jawaban yang serupa yakni untuk peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan itu seakan hanya untuk sekolah, bukan peningkatan para siswa. Dimana tolak ukur keberhasilan sebuah sekolah dilihat dari prestasi akademik terutama di bidang sains macam matematika, fisika, biologi dan kimia. Mereka yang juara memang membanggakan bagi sekolah namun tidak terlalu membanggakan bagi teman-teman mereka, karena mereka yang juara itu kan kebanyakan pendiam dan tidak pernah bergaul dengan teman-temanya karena ‘kesibukan’ mereka belajar. Ini berbeda dengan teman-teman yang berprestasi di dunia olahraga dan seni, dimana mereka selalu mendapat suport langsung dari teman-teman mereka satu sekolah ketika mereka bertanding maupun tampil pada pentas seni. Toh meski dunia berbeda, mereka juga membawa nama baik sekolah. Inilah yang penulis sesalkan, ketika semua siswa harus dipaksa untuk menguasai yang bukan bidangnya dan harus bisa berprestasi di bidang akademik, hingga menyebabkan fasilitas penunjang ekstrakurikuler pun dibatasi dan terkadang dibiarkan begitu saja. Penulis tidak menolak peraihan prestasi baik akademik maupun non akademik, melainkan harusnya dunia pendidikan mengerti bahwa pendidikan itu tidak sebatas pada mata pelajaran namun pendidikan juga mendidik moral, kreativitas dan emosional para peserta didik. Dimana tidak hanya otak kiri saja yang dilatih, melainkan otak kanan juga. Nah kalo sekolah itu mulai dari pagi hingga sore hari, terus dilanjutkan dengan pelajaran tambahan di bimbingan belajar hingga malam hari. Kapan otak kanan itu dilatih? Tiba dirumah langsung tidur atau ngerjain tugas sekolah dan siap untuk melakukan rutinitas yang sama yakni ‘sekolah’.
Penulis selalu mengikuti perkembangan sekolah penulis dan tidak sabar ingin mengetahui hasil dari sistem pendidikan yang baru (dulu namanya Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dari tahun ke tahun ternyata prestasi non akademik pun mulai menurun, padahal kualitas SDM juga masih bagus tapi kok prestasi malah menurun. Terus penulis juga bertanya tentang kelulusan sudah lanjut kemana saja, ternyata jumlah pelajar yang masuk PTN malah mengalami penurunan padahal tidak sedikit pula adik-adik kelas yang mengikuti tes masuk PTN. Belum lagi, sistem pendidikan yang mengagungkan akademik itu ternyata masih belum bisa membanggakan, karena ternyata adik-adik angkatan penulis justru semakin sedikit yang masuk Kedokteran, Kedokteran Gigi, Teknik Elektro, Statistik, Akuntansi, Manajemen, Komunikasi dan lain sebagainya lewat jalur prestasi dan spmb. Apakah ini wujud dari sistem pendidikan yang katanya ‘baru’? Sekolah layaknya kerja rodi dari pagi hingga malam hari. Prestasi akademik dan non akademik pun tidak bisa diraih, yang diraih hanyalah sebuah penurunan bahkan kegagalan. Penulis mencoba mendengarkan cerita dan pengalaman dari teman-teman yang berbeda sekolah, ternyata sekolah mereka pun mengalami problem yang serupa.
Memang cerita ini tidak bisa dijadikan tolak ukur hasil pendidikan di negeri ini, jika kita pernah bilang sebuah perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan lingkutan sekitar kita, yah ini memang benar adanya karena lingkungan sekolah kita ternyata mengalami sebuah ‘keanehan’ yakni penurunan kualitas peserta didik yang harus kita benahi. Soal pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, sekolah dan siswa namun juga tanggung jawab kita semua, hanya pemerintah mempunyai jatah lebih banyak dalam tanggung jawab karena darisana lah kebijakan bermula. Namanya kebijakan kan harus bijak, jika kebijakan itu banyak merugikan dan mengalami penurunan kualita berarti itu bukan kebijakan melainkan kejahatan.
Pendidikan yang harusnya menjadi sarana eksplorasi para peserta didik, dimana mereka semua bisa mengeksplor semua yang ada di dalam dirinya, entah itu kemampuan dibidana akademik maupun non akademik, dimana pendidikan bisa menunjang kemampuan berfikir dan kreativitas mereka, dimana pendidikan selalu menampilkan senyumnya bukan hanya wajah murung karena ujian nasional dan lain sebagainya.
Pendidikan justru mengeksploitasi pasa siswa dan orang tuanya dengan aneka sumbangan dan kegiatan sekolah lainnya. Belum lagi LBB yang tidak murah harganya. Pendidikan seakan memaksa peserta didik untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya, akhirnya peserta didikpun hanya memiliki dua pilihan, yakni : menjalankan perintah atau diam saja. Ini patut disayangkan, mereka yang mempunyai potensi di bidang lainnya terpaksa harus mengubur bakatnya dalam-dalam dan menjalani ‘dunia lain’.
Kita juga bisa melihat banyaknya laporan dan keluhan mengenai pendidikan Indonesia yang semakin ketinggalan dibanding negara lain di asia tenggara, meski banyak siswa meraih prestasi olimpiade internasional toh juga bukan jaminan mereka akan hidup lebih baik. Bahkan peraih juara olimpiade itu ada yang tidak lulus UN dan bahkan tidak lolos tes masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar